Selasa, 27 Agustus 2019

Fitrah Seksualitas, Aliran Rasa


Materi "Fitrah Seksualitas" justru membuat aku bertemu kembali dengan diriku yang terluka. Berhadapan langsung, face to face.  Aku melihat diriku sendiri yang bermata lebam karena kurang tidur, menyeringai akibat sakit kepala sebelah, dan memegang pinggang menahan hasrat ingin pipis saat menyuapi anak-anak.

Spontan aku memeluk diriku, "Terima kasih sudah mau bertahan hingga hari ini. Maafkan aku karena tidak sering memelukmu. Tidak memahami rasa sakitmu. Maaf aku justru tidak berempati pada dirimu. Sibuk menyenangkan orang lain."

Terkejut ternyata aku seaniaya itu terhadap diriku sendiri tetapi kemudian aku bersiap untuk berproses.

Aku di masa lalu bukanlah anak perempuan yang memahami siapa diriku dan tahu apa yang diinginginkan. Aku mudah sekali terombang-ambing dengan mimpi orang lain. Tersesat akhirnya di sebuah pernikahan yang ternyata Tuhan siapkan agar aku bisa kembali menjadi diriku sendiri.

Fitrah menjadi wanita seutuhnya dan ibu sesungguhnya. Bersama suami menjadi tim untuk produktif, bersyukur diberi amanah duoG, dan menjaga duoG hingga akil baligh bersamaan.

***
Aku membayangkan setelah menikah, punya anak, anak besar, anak menikah. Udah kelar. Ternyata tak se-instant kaya bikin mie ya. Anak-anak justru yang memberikan bimbingan: menikmati hidup dengan bermain, tetap ada batasan sesuai dengan aturan yang ada, kenal dan paham Tuhan, menikmati dan menerima setiap momen baik itu indah maupun buruk.


Kembali ke fitrah jadi ayah ibu produktif yang hadir utuh dan penuh buat duoG.

Ayah ibu yang menerima kelemahan dan kekurangan duoG sehingga duoG juga akhirnya menerima diri mereka sendiri. Tulus penuh empati. 

Punya hubungan kedekatan yang sehat dengan rasa percaya, tetap sukacita, dan hangat kapanpun duoG butuh. 

***
Jati diri yang sesuai dengan fitrah. Laki-laki ya maskulin, perempuan ya feminin. Paham bagaimana menghargai diri sehingga jadi pribadi yang tahu apa kebutuhannya.

Bukan jadi orangtua yang hanya teriak, "Ganyang LGBT!" tetapi terus sibuk dengan pekerjaan terus menyerahkan peran pengasuhan ke gawai. Anak 1×24 jam ditemenin asisten rumah tangga. Please deh.

10 hingga 15 menit cukup, masih selalu ada kesempatan untuk orangtua memenuhi perannya.

Tak perlu lah membandingkan dengan keluarga lain bila diri sendiri tak sanggup mengusahakan sama porsinya dengan keluarga yang di-iri-in. 

Bila sanggup ikut kajian, workshop parenting, baca buku, punya waktu berkualitas dengan anak-anak minimal sama dengan "si keluarga sukses" maka boleh lah iri. Kalau cuma bacot doang mah kagak danta *versi orang planet (artinya kalau hanya iri tanpa aksi ya gak usah koar-koar membandingkan).

***

KDRT, pelecehan dan kejahatan seksual, serta pengalaman-pengalaman buruk bisa menimpa siapa saja. Namun bila ayah ibu punya bekal, anak-anak juga dipersiapkan dengan ilmu agama dan kemampuan maka hidup akan dilalui jadi lebih seimbang. 

Tidak melulu bahagia tetapi juga menerima luka-luka yang bertujuan untuk menguatkan.


Terima kasih teman-teman di kelas Bunsay Bekasi batch 4. Sama-sama menikmati level 11 ini dengan saling menguatkan untuk menerima masa lalu dan bersyukur dengan yang dimiliki saat ini serta berjuang bersama menuntaskan fitrah seksualitas. Semoga kita semua sampai garis akhir sama-sama ya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar